Reshuffle untuk Melakukan Akselerasi Tiga Tahun ke Depan
Jakarta: Perombakan kabinet atau reshuffle merupakan upaya
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Boediono untuk melakukan
akeselerasi atau percepatan dalam tiga tahun ke depan. Tim 'baru' nanti
diharapkan memiliki semangat dan komitmen baru untuk berlari lebih
cepat. Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Politik Daniel Sparringa
menyampaikan hal ini di Binagraha, kompleks Istana Kepresidenan,
Jakarta, Selasa (20/9) siang.
Sebelumnya, saat ditanya wartawan soal reshuffle ini, seusai menerima pengurus pusat Yayasan Batik Indonesia, Presiden SBY mengatakan "tunggu tanggal mainnya."
Menurut Daniel, masalah reshuffle menjadi kewenangan dan kehormatan Presiden SBY dan Wapres Boediono. Hal terpenting dalam reshuffle,
lanjutnya, adalah pembentukan tim baru yang bisa berakselerasi dalam
tiga tahun ke depan. "Kami akan lari dalam pengertian lebih cepat, lebih
lama, seperti maraton," katanya.
Istilah 'tim baru' itu muncul lantaran sebagian anggota kabinet baru
diganti atau bergeser. Namun jauh lebih penting dari itu adalah komitmen
baru, semangat baru untuk tiga tahun sisa masa kepemimpinan
pemerintahan SBY.
Sejauh ini, Daniel menambahkan, proses reshuffle masih menjadi
perbincangan dalam lingkup terbatas antara Presiden SBY dan Wapres
Boediono. "Pada waktu yang tepat akan juga melibatkan parpol, dan parpol
juga mengerti sukses pemerintah juga sukses parpol," Daniel
menjelaskan.
Hmmm ...
Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono memastikan akan melakukan reshuffle (perombakan kabinet) sebelum 20 Oktober 2011 atau sebelum usia pemerintahannya memasuki tahun kedua sejak 2009.
Susunan kabinet sekarang ini, adalah hasil seleksi yang tidak main-main. Mereka melalui begitu banyak tahapan seleksi, antara lain “fit and proper test” di Cikeas dan pula ditambah dengan menu tambahan, antara lain berupa “pakta integritas”. Dari semua itu, dilakukan oleh Presiden sendiri yang memang memiliki “hak prerogatif” tersebut .. Lebih
jauh lagi, karena memang para Menteri lah yang akan
menjadi orang-orang kepercayaan Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus
Kepala Pemerintahan dalam melaksanakan tugas yang menurut istilah Bung
Karno, menjalankan “amanat penderitaan rakyat”. Jadi, sekali lagi disini perlu digarisbawahi, bahwa mau reshuffle atau tidak mau, tetap semuanya berpulang kepada Presiden. Sekali lagi, yang menjadikan aneh apabila orang-orang yang bukan sebagai Presiden, justru malah yang meributkan masalah reshuffle ..
Maka menjadi pertanyaan besar : "Mengapa Presiden tidak mendahulukan aspek
kapabilitas, pengalaman, dan keterujian profesionalisme dalam memilih
para Menteri-nya ?? ..."
Mengapa presiden mensia-siakan kumpulan manusia
profesional yang sudah dimiliki oleh republik ini, sudah ada dalam
jajaran birokrasinya. Kumpulan manusia berprestasi yang sudah dibuktikan
dengan kenaikan jenjang karir bertahap yang mereka terima, profesional
yang jelas berpengalaman karena mengikuti evolusi aktivitas di
departemen tempat dia berkarya, kumpulan orang berpendidikan (Master,
S3, Phd bahkan professor) yang bergelar karena memakai dana rakyat,
disekolahkan oleh Negara, bahkan mereka adalah kumpulan professional
yang sudah teruji loyalitasnya berpuluh tahun berbakti mencintai
republik ini. Mereka adalah para Eselon 1 ...
Presiden Soeharto, adalah presiden yang praktis tidak pernah melakukan
”reshuffle” selama masa periode kepemimpinannya. Penggantian Menteri
dilakukan setiap lima tahun sekali. Banyak yang menganggap ini terjadi
karena pak Harto sangat mengedepankan profesionalisme para Menteri
dengan mengangkat para pejabat Karir di lingkungan departemen terutama
dari struktur birokrasi tertinggi, atau setingkat Eselon I. Jabatan
jatah hanya diberikan kepada departemen non teknis.
Dengan begitu, pemilihan atau rekrutmen menteri
oleh presiden seharusnya dapat dilakukan secara sederhana, melalui
mekanisme yang lazim dilakukan di dunia bisnis atau di
organisasi-organisasi kelas dunia. Yakni, kompetensi dan integritas
diatas segalanya, karenanya menjadi pertanyaan jika presiden memilih
menteri yang jejak karirnya jauh dibawah Eselon 1 yang sudah berkarir
didepartemen bersangkutan, yang jauh lebih berpengalaman dalam
bidangnya, memilih menteri yang tidak mempunyai network kerja, memilih
menteri yang mempunyai gelar akademik jauh dibawah Eselon 1 nya, memilih
menteri yang tidak teruji kesetiannya berbakti kepada Negara dibanding
Eselon1 yang bahkan sudah menerima bintang perhargaan 20 tahun berbakti.
Pilihan salah yang bahkan akan menimbulkan demotivasi, kehilangan
gairah bekerja dari para kumpulan professional yang sebenarnya pantas
diberi kepercayaan itu.
Penunjukkan menteri secara politis memberi kesan
bahwa Eselon 1 adalah jabatan pengabdian tertinggi, ini akan menciptakan
dikotomi antara Birokrat Vs. Menteri ... Ini berbahaya, karena bisa
menimbulkan demotivasi dan penyia-nyiaan investasi republik selama
puluhan tahun di bidang kepegawaian.
Karenanya ...
Stop cara pandang Menteri sebagai
jabatan politik ! Berikan para menteri kepercayaan berkarya dan tidak
lagi membuat organisasi non-struktural, satgas-satgas yang jumlahnya
berjibun, yang sepertinya lebih dipercaya ketimbang para menteri. Jika
situasinya begini, jangan-jangan yang harus di-reshuffle adalah
organisasi non-struktural bentukan Presiden, para satgas !
Berikan kesempatan Eselon 1 menjadi Menteri,
sehingga mulai saat ini, tak ada lagi investasi republik di bidang
kepegawaian yang tersia-siakan ... !!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar