Sabtu, 01 Oktober 2011

Reshuffle Kabinet

Reshuffle untuk Melakukan Akselerasi Tiga Tahun ke Depan

Jakarta: Perombakan kabinet atau reshuffle merupakan upaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Boediono untuk melakukan akeselerasi atau percepatan dalam tiga tahun ke depan. Tim 'baru' nanti diharapkan memiliki semangat dan komitmen baru untuk berlari lebih cepat. Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Politik Daniel Sparringa menyampaikan hal ini di Binagraha, kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (20/9) siang.

Sebelumnya, saat ditanya wartawan soal reshuffle ini, seusai menerima pengurus pusat Yayasan Batik Indonesia, Presiden SBY mengatakan "tunggu tanggal mainnya."

Menurut Daniel, masalah reshuffle menjadi kewenangan dan kehormatan Presiden SBY dan Wapres Boediono. Hal terpenting dalam reshuffle, lanjutnya, adalah pembentukan tim baru yang bisa berakselerasi dalam tiga tahun ke depan. "Kami akan lari dalam pengertian lebih cepat, lebih lama, seperti maraton," katanya.

Istilah 'tim baru' itu muncul lantaran sebagian anggota kabinet baru diganti atau bergeser. Namun jauh lebih penting dari itu adalah komitmen baru, semangat baru untuk tiga tahun sisa masa kepemimpinan pemerintahan SBY.

Sejauh ini, Daniel menambahkan, proses reshuffle masih menjadi perbincangan dalam lingkup terbatas antara Presiden SBY dan Wapres Boediono. "Pada waktu yang tepat akan juga melibatkan parpol, dan parpol juga mengerti sukses pemerintah juga sukses parpol," Daniel menjelaskan.

Hmmm ...

Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono memastikan akan melakukan reshuffle (perombakan kabinet) sebelum 20 Oktober 2011 atau sebelum usia pemerintahannya memasuki tahun kedua sejak 2009.

 

Susunan kabinet sekarang ini, adalah hasil seleksi yang tidak main-main. Mereka melalui begitu banyak tahapan seleksi, antara lain “fit and proper test” di Cikeas dan pula ditambah dengan menu tambahan, antara lain berupa “pakta integritas”. Dari semua itu, dilakukan oleh Presiden sendiri yang memang memiliki “hak prerogatif” tersebut .. Lebih jauh lagi, karena memang para Menteri lah yang akan menjadi orang-orang kepercayaan Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan dalam melaksanakan tugas yang menurut istilah Bung Karno, menjalankan “amanat penderitaan rakyat”. Jadi, sekali lagi disini perlu digarisbawahi, bahwa mau reshuffle atau tidak mau, tetap semuanya berpulang kepada Presiden. Sekali lagi, yang menjadikan aneh apabila orang-orang yang bukan sebagai Presiden, justru malah yang meributkan masalah reshuffle ..

Maka menjadi pertanyaan besar : "Mengapa Presiden tidak mendahulukan aspek kapabilitas, pengalaman, dan keterujian profesionalisme dalam memilih para Menteri-nya ?? ..."

Mengapa presiden mensia-siakan kumpulan manusia profesional yang sudah dimiliki oleh republik ini, sudah ada dalam jajaran birokrasinya. Kumpulan manusia berprestasi yang sudah dibuktikan dengan kenaikan jenjang karir bertahap yang mereka terima, profesional yang jelas berpengalaman karena mengikuti evolusi aktivitas di departemen tempat dia berkarya, kumpulan orang berpendidikan (Master, S3, Phd bahkan professor) yang bergelar karena memakai dana rakyat, disekolahkan oleh Negara, bahkan mereka adalah kumpulan professional yang sudah teruji loyalitasnya berpuluh tahun berbakti mencintai republik ini. Mereka adalah para Eselon 1 ...



Presiden Soeharto, adalah presiden yang praktis tidak pernah melakukan ”reshuffle” selama masa periode kepemimpinannya. Penggantian Menteri dilakukan setiap lima tahun sekali. Banyak yang menganggap ini terjadi karena pak Harto sangat mengedepankan profesionalisme para Menteri dengan mengangkat para pejabat Karir di lingkungan departemen terutama dari struktur birokrasi tertinggi, atau setingkat Eselon I. Jabatan jatah hanya diberikan kepada departemen non teknis.

Dengan begitu, pemilihan atau rekrutmen menteri oleh presiden seharusnya dapat dilakukan secara sederhana, melalui mekanisme yang lazim dilakukan di dunia bisnis atau di organisasi-organisasi kelas dunia. Yakni, kompetensi dan integritas diatas segalanya, karenanya menjadi pertanyaan jika presiden memilih menteri yang jejak karirnya jauh dibawah Eselon 1 yang sudah berkarir didepartemen bersangkutan, yang jauh lebih berpengalaman dalam bidangnya, memilih menteri yang tidak mempunyai network kerja, memilih menteri yang mempunyai gelar akademik jauh dibawah Eselon 1 nya, memilih menteri yang tidak teruji kesetiannya berbakti kepada Negara dibanding Eselon1 yang bahkan sudah menerima bintang perhargaan 20 tahun berbakti. Pilihan salah yang bahkan akan menimbulkan demotivasi, kehilangan gairah bekerja dari para kumpulan professional yang sebenarnya pantas diberi kepercayaan itu.

Penunjukkan menteri secara politis memberi kesan bahwa Eselon 1 adalah jabatan pengabdian tertinggi, ini akan menciptakan dikotomi antara Birokrat Vs. Menteri ... Ini berbahaya, karena bisa menimbulkan demotivasi dan penyia-nyiaan investasi republik selama puluhan tahun di bidang kepegawaian.

Karenanya ...
Stop cara pandang Menteri sebagai jabatan politik ! Berikan para menteri kepercayaan berkarya dan tidak lagi membuat organisasi non-struktural, satgas-satgas yang jumlahnya berjibun, yang sepertinya lebih dipercaya ketimbang para menteri. Jika situasinya begini, jangan-jangan yang harus di-reshuffle adalah organisasi non-struktural bentukan Presiden, para satgas !

Berikan kesempatan Eselon 1 menjadi Menteri, sehingga mulai saat ini, tak ada lagi investasi republik di bidang kepegawaian yang tersia-siakan ... !!

Sumber :

http://www.presidenri.go.id/index.php/fokus/2011/09/20/7221.html 

http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2011/09/23/menanti-reshuffle-nan-tak-kunjung-tiba/ 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar